Voiceofnusantara.com, JAKARTA – Di tengah gejolak ekonomi dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya keberlanjutan, kalangan generasi Z di Korea Selatan kini mulai bergeser menuju gaya hidup yang lebih sederhana dan bertanggung jawab.
Tren ini dikenal dengan nama YONO (You Only Need One), yang mengusung prinsip minimalisme dan keberlanjutan.
Berbeda dengan YOLO (You Only Live Once), yang mengedepankan gaya hidup konsumtif dan kebebasan dalam pengeluaran, YONO justru menekankan pentingnya kualitas daripada kuantitas.
Kalangan Generasi (Gen) Z di Korea Selatan tengah populer dengan tren baru bernama YONO (You Only Need One).
Berbeda dari konsep YOLO (You Only Live Once) yang identik dengan gaya hidup konsumtif dan mengejar kesenangan instan, YONO justru menekankan kesederhanaan, keberlanjutan, dan konsumsi yang lebih bertanggung jawab.
Dilansir oleh Maeil Business Newspaper, fenomena ini muncul sebagai respons terhadap kenaikan harga barang dan suku bunga yang tinggi, yang memaksa banyak anak muda untuk lebih selektif dalam pengeluaran mereka.
Data dari Bank of Korea menunjukkan tingkat utang rumah tangga di negara tersebut mencapai rekor tertinggi, dengan rasio utang terhadap pendapatan (DTI) rata-rata generasi muda meningkat lebih dari 30 persen dalam satu dekade terakhir.
YONO bukan sekadar gaya hidup hemat, tetapi juga sebuah paradigma baru dalam konsumsi. Anak muda yang menerapkan YONO lebih memilih barang berkualitas tinggi dengan masa pakai lebih lama, membeli produk bekas yang masih layak guna, serta mendukung merek-merek yang menerapkan prinsip keberlanjutan.
Seorang influencer gaya hidup minimalis di Korea Selatan, Kim Ji-hye (26), mengungkapkan bahwa dirinya mulai menerapkan prinsip YONO setelah merasa kelelahan secara finansial akibat gaya hidup YOLO.
“Dulu saya sering membeli barang karena tren atau sekadar ingin tampil keren di media sosial. Namun sekarang, saya lebih memilih satu barang berkualitas yang bisa saya gunakan dalam jangka panjang,” ujarnya dalam wawancara dengan Maeil Business Newspaper.
Mengutip laporan Korea Federation of Textile Industries (KOFOTI), fenomena ini mulai berdampak pada industri ritel dan fashion di Korea Selatan.
Permintaan akan produk mode cepat (fast fashion) mulai menurun, sementara penjualan produk berbahan ramah lingkungan dan tahan lama meningkat lebih dari 15 persen pada 2024.
Salah satu contoh nyata adalah merek fashion lokal yang kini beralih memproduksi pakaian dari bahan daur ulang dan menggunakan strategi pemasaran berbasis keberlanjutan.
Beberapa perusahaan bahkan menawarkan layanan reparasi gratis untuk memperpanjang usia produk mereka, sejalan dengan filosofi YONO.
Menurut Korea Development Institute, tren YONO diprediksi akan terus berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran generasi muda terhadap krisis ekonomi dan lingkungan.
Pakar ekonomi dari institut tersebut, Lee Min-ho, menilai bahwa perubahan ini bisa menjadi langkah awal menuju pola konsumsi yang lebih bijak dan berkelanjutan.
“Jika generasi muda terus mengadopsi gaya hidup YONO, kita bisa melihat pergeseran besar dalam industri konsumsi global. Ini bukan sekadar tren, tetapi strategi bertahan di tengah tantangan ekonomi yang semakin kompleks,” jelasnya.
Dengan kesadaran finansial yang lebih matang dan kepedulian terhadap lingkungan yang meningkat, YONO berpotensi menjadi gaya hidup baru yang menggantikan budaya konsumtif sebelumnya.
Kini, generasi muda tidak lagi hanya hidup untuk hari ini, tetapi juga mulai merancang masa depan yang lebih stabil dan berkelanjutan. (*)
Leave a Comment