Jamasan Pusaka: Ritual Pembersihan Senjata Tradisional sebagai Pelestarian Warisan Budaya Nusantara

Mikhael Adhirajasa

0 Comment

Link

Voiceofnusantara.com, SOLO – Jamasan pusaka adalah sebuah ritual yang melibatkan pembersihan dan penyucian senjata tradisional seperti keris, tombak, dan benda pusaka lainnya.

Ritual ini memiliki makna yang dalam tidak hanya dalam aspek budaya, tetapi juga dalam spiritualitas yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia, terutama dalam komunitas yang menjaga nilai-nilai leluhur.

Dilansir KlikSoloNews, jejaring Voiceofnusantara, Tradisi jamasan pusaka biasanya dilakukan pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa, yang dianggap sebagai waktu yang sakral.

Dalam upacara ini, benda-benda pusaka dimandikan dengan air kembang dan minyak khusus, sering kali dipimpin oleh juru kunci atau abdi dalem yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ritual tersebut.

Sesuai namanya, jamasan berasal dari bahasa Jawa krama yang berarti cuci. Sementara pusaka merupakan benda-benda atau senjata adat yang dianggap suci dan memiliki kekuatan magis, misalnya keris atau tombak. Setiap bilah keris harus dirawat dan disucikan sebagai bentuk penghormatan.

Dalam ritual ini juga harus disediakan sesaji atau ubo rampe seperti jajan pasar, wewangian dupa, minyak, air kelapa, dan berbagai macam bunga yang disebut kembang setaman.

Selain itu, ada juga tumpengan sebagai simbol pengingat agar selalu berbuat baik dan memiliki sifat bijaksana.

Di berbagai daerah di Indonesia, jamasan pusaka masih lestari, terutama di keraton-keraton Jawa seperti Keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Keraton Yogyakarta, misalnya, menggelar ritual jamasan pusaka setiap tahun di Bangsal Ponconiti dengan prosesi yang khidmat dan dihadiri oleh para abdi dalem serta masyarakat umum.

Menurut laman Pemerintah Kota Surakarta, ada beberapa tahapan penting dalam prosesi Jamasan Pusaka. Pertama, penjamas akan melakukan susilaning nglolos dhuwung, yaitu proses penghormatan terhadap pembuat dan pemilik pusaka.

Setelah itu, pusaka melewati proses mutih, yaitu membersihkan kotoran dan karat dengan menggunakan campuran abu dari arang kayu jati, jeruk nipis, dan deterjen.

Kemudian pusaka akan direndam dalam air campuran khusus dalam proses warangan. Setelah bersih, pusaka dikeringkan dengan kain sebelum melalui proses keprok dan akhirnya dijemur di bawah sinar matahari selama beberapa waktu.

Setelah kering, keris diberi minyak dan wewangian dari sari mawar, melati, atau cendana sebelum akhirnya ditutupi dengan warangan.

Keberadaan jamasan pusaka di era modern tetap relevan sebagai simbol pelestarian budaya. Para ahli warisan budaya menekankan pentingnya mempertahankan tradisi ini agar generasi muda tetap memahami dan menghargai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap helai sejarah yang diwariskan. (*)

Share:

Related Post

Leave a Comment