VoN, SALATIGA – Jejak sejarah Nusantara VoiceofNusantara mengangkat salah satu kisah bersejarah di Kota Salatiga, Jawa Tengah. Bangunan bersejarah itu yakni Gedung Pakuwon atau Pendapa Pakuwon, saksi bisu Perjanjian Salatiga yang terlupakan dan terurus.
Kota Salatiga terletak 49 kilometer di sebelah Selatan Kota Semarang dan 52 kilometer di sebelah Utara Kota Surakarta. Kota berhawa sejuk ini berada di jalan negara yang menghubungkan antara Kabupaten Semarang dengan Kota Surakarta. Jumlah penduduk kota Salatiga hingga akhir tahun 2021 berjumlah 193.525 jiwa.
Di kota ini, terdapat nukilan sejarah Nusantara dan perjuangan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Salah satunya Gedung Pakuwon, saksi sejarah Perjanjian Salatiga antara Raden Mas Said atau biasa disebut Pangeran Sambernyawa, Pakubuwono II, dan Pemerintah Kolonial Belanda pada 17 Maret 1757.
Perjanjian Salatiga adalah perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga. Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Giyanti tahun 1755.
Perjanjian yang Membelah Surakarta
Terletak di sebelah selatan Lapangan Pancasila, tepatnya di Jalan Brigjen Sudiarto, berdiri sebuah bangunan bersejarah yang dikenal sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB).
Bangunan ini menyimpan nilai sejarah yang mendalam karena menjadi saksi bisu penandatanganan Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757.
Perjanjian tersebut dilakukan antara Pangeran Sambernyowo, atau lebih dikenal sebagai Raden Mas Said, dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Peristiwa ini memiliki dampak besar bagi pembagian kekuasaan di Jawa, terutama di wilayah Surakarta.

Isi utama dari Perjanjian Salatiga adalah pembagian wilayah Surakarta menjadi dua bagian: Kasunanan dan Mangkunegara. Hal ini menjadi solusi dari konflik perebutan kekuasaan yang melibatkan Kesultanan Mataram.
Dalam perjanjian tersebut, Hamengkubuwono I dan Pakubuwono III sepakat untuk melepaskan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Sambernyawa, yang kemudian menjadi penguasa Mangkunegara. Dengan demikian, perjanjian ini menandai berakhirnya era konflik di Kesultanan Mataram.
Gedung Pakuwon yang Kini Memprihatinkan
Gedung Pakuwon atau Pendapa Pakuwon, yang dahulu menjadi tempat tinggal Bupati Salatiga (atau akuwu pada masa Kerajaan Mataram), memiliki fungsi penting dalam sejarah lokal.
Sebagai palereman akuwu, bangunan ini menjadi simbol administratif dan pusat kekuasaan pada masanya. Namun, kondisi Gedung Pakuwon saat ini sangat memprihatinkan. Bangunan yang pernah menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah ini tidak dirawat dengan baik oleh pemiliknya.
Pantauan VoiceofNusantara, Sabtu (28/12/2024), bangunan ini terlihat tak terurus. Halamannya banyak ditumbuhi rumput liar dan digunakan sebagai area parkir bagi pengunjung dari luar kota yang menikmati suasana Kota Salatiga dari Alun-alun Salatiga atau disebut Lapangan Pancasila.
Alasan utama di balik ketidakpedulian terhadap perawatan Gedung Pakuwon adalah keterbatasan biaya. Pemilik bangunan mengaku tidak memiliki cukup dana untuk menjaga dan merestorasi BCB ini, sehingga perlahan-lahan bangunan tersebut mulai kehilangan pesonanya sebagai warisan sejarah.
Sebagai salah satu peninggalan bersejarah yang memiliki nilai budaya dan edukasi tinggi, Pendapa Pakuwon seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat.
Bangunan ini tidak hanya menjadi saksi bisu dari perjanjian penting dalam sejarah Jawa, tetapi juga mencerminkan identitas dan perjalanan panjang Kota Salatiga.
Upaya pelestarian BCB seperti Gedung Pakuwon membutuhkan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta. Dengan perencanaan yang baik, restorasi dan perawatan bangunan bersejarah ini dapat dilakukan, sehingga generasi mendatang tetap dapat menikmati dan mempelajari kekayaan sejarah Indonesia.
Bangunan seperti Gedung Pakuwon seharusnya tidak hanya menjadi bagian dari masa lalu, tetapi juga inspirasi bagi masa depan. Warisan sejarah ini layak untuk terus dijaga dan dihormati sebagai bagian dari identitas bangsa. **
Leave a Comment