VoN, Sumba – Sumba Barat Daya, sebuah kabupaten yang terletak di Nusa Tenggara Timur, menyimpan potensi wisata yang luar biasa.
Tidak hanya memiliki pantai-pantai yang indah dan alam yang eksotis, daerah ini juga sangat kaya akan adat istiadat yang diwariskan turun-temurun. Salah satu tradisi yang masih tetap dilestarikan hingga kini adalah Festival Pasola, yang menjadi daya tarik utama bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Festival Pasola bukan sekadar sebuah atraksi wisata, tetapi merupakan puncak dari rangkaian tradisi Nate atau Nyale, yang merupakan ritual pemujaan masyarakat Sumba kepada leluhur mereka melalui persembahan dan penghormatan kepada Raja Nyale.
Dalam tradisi ini, para ksatria atau gladiator lokal, yang menunggang kuda, saling melempar lawan dengan lembing tumpul. Meskipun terkesan seperti pertarungan sengit, Pasola merupakan simbol dari rasa hormat dan keyakinan bahwa luka yang dialami oleh para peserta sesuai dengan dosa yang mereka bawa.
Bupati Sumba Barat Daya, Kornelius Kodi Mete, menjelaskan bahwa Pasola diadakan untuk menghormati Raja Nyale. Selain itu, ia juga menuturkan bahwa dalam kepercayaan Marapu, jika seseorang terluka saat Pasola, itu dianggap sebagai hukuman dari leluhur yang disampaikan melalui manusia.
“Jika dosanya sangat berat, bisa saja kematian menjadi konsekuensinya,” ujar Bupati Kornelius Kodi Mete.
Ritual dan Keunikan Pasola
Festival Pasola bukan hanya tentang pertempuran berkuda, tetapi juga melibatkan serangkaian ritual adat yang dimulai bahkan tiga bulan sebelum acara utama.
Tradisi ini mengajarkan pentingnya keharmonisan dengan alam, dan masyarakat Sumba secara khusus menjaga ritual-ritual adat seperti larangan suara bising, seperti penggunaan lesung untuk menumbuk beras, selama periode tertentu menjelang festival.
Pada zaman dahulu, ketika belum ada kendaraan bermotor, larangan tersebut diberlakukan lebih ketat. Masyarakat percaya bahwa suara bising dapat mengganggu kelancaran upacara dan menodai kesakralan acara. Bahkan dalam keadaan duka, masyarakat tidak diperkenankan memukul gong, karena dipercaya bahwa gong itu digunakan untuk mengantarkan roh orang yang meninggal ke sorga.
Festival Pasola digelar setiap tahun pada bulan Februari dan Maret, dengan berbagai lokasi yang menggelar acara ini, termasuk di Rara Winyo dan Desa Maliti Bondo Ate di Kecamatan Kodi. Sebagai bagian dari perayaan budaya yang sangat dinantikan, Pasola telah menarik perhatian ribuan pengunjung yang datang untuk menyaksikan gladiator lokal menunjukkan keahlian berkuda mereka.
Pada tahun 2022, Festival Pasola kembali digelar setelah dua tahun terhenti karena pandemi Covid-19. Bahkan, pada tahun itu, Festival Pasola di Sumba Barat Daya dibuka langsung oleh Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko.
Sebagai bagian dari protokol kesehatan, pengunjung yang datang ke lokasi festival harus menunjukkan bukti vaksinasi Covid-19, dengan petugas kepolisian yang memeriksa kelengkapan surat vaksin sebelum memasuki area acara.
Festival Pasola bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga menjadi simbol dari kekayaan budaya dan tradisi masyarakat Sumba yang perlu dilestarikan. Selain berfungsi sebagai wahana untuk merayakan adat istiadat, Pasola juga telah menjadi daya tarik pariwisata yang mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.
“Pasola adalah tradisi perang yang memperlihatkan ketangkasan para gladiator lokal yang menunggang kuda sambil menyerang dengan lembing kayu. Ini adalah warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan hanya untuk mengenang leluhur, tetapi juga untuk menarik perhatian dunia akan keberagaman budaya Indonesia,” ucap Bupati Kornelius Kodi Mete.
Festival Pasola menjadi salah satu bukti betapa kaya dan beragamnya budaya Indonesia. Sebagai bagian dari upaya menjaga kelestariannya, Festival Pasola di Sumba Barat Daya tidak hanya melibatkan masyarakat lokal, tetapi juga para wisatawan yang datang untuk merasakan pengalaman langsung dalam menyaksikan tradisi unik ini.
Melalui Festival Pasola, Sumba Barat Daya menunjukkan bahwa budaya dan alam yang dimilikinya adalah aset yang tak ternilai harganya, yang harus dijaga dan dilestarikan bagi generasi mendatang. ***
Leave a Comment