Menilik Stasiun Purwosari Solo: Saksi Bisu Perkembangan Peradaban Kereta Api Nusantara

Johan Subekti

0 Comment

Link

Voiceofnusantara.com, SOLO – Stasiun Kereta Api Purwosari, yang terletak strategis di pusat Kota Solo, telah menjadi saksi bisu dari perkembangan transportasi di Indonesia selama lebih dari seratus tahun.

Tidak hanya sekadar fasilitas untuk perjalanan, stasiun ini juga menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan sejarah panjang perkeretaapian Indonesia.

Sebagai salah satu pintu utama masuk ke Kota Solo, Stasiun Purwosari menjadi tujuan penting bagi para wisatawan yang ingin menjelajahi Kota Bengawan ini.

Banyak kereta api jarak jauh, termasuk rute dari Solo menuju Yogyakarta dan berbagai tujuan lain, melintas dan berhenti di stasiun ini setiap harinya. Keberadaannya yang strategis dan bersejarah menjadikan stasiun ini lebih dari sekadar tempat menunggu kereta. Stasiun Purwosari adalah bagian dari identitas kota itu sendiri.

Berikut artikel Menilik Stasiun Purwosari, Saksi Bisu Perkembangan Peradaban Kereta Api Nusantara dilansir laman KlikSoloNews, jejaring VoiceofNusantara.

Stasiun Kereta Api (KA) Purwosari Solo memegang peranan penting dalam sejarah peradaban perkeretaapian Indonesia hingga saat ini.

Stasiun yang terletak di jantung kota ini menjadi salah satu pintu masuk bagi para pelancong yang ingin berwisata di Kota Bengawan. Banyak kereta api jarak jauh yang berhenti di stasiun Purwosari.

Selain itu, stasiun ini juga mengakomodasi perjalanan kereta api listirk (KRL) relasi Solo-Yogyakarta setiap hari.

Melansir laman Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta, Stasiun Purwosari dibangun pada 27 Maret 1871 oleh Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), perusahaan kereta api swasta Belanda. Lahan pembangunannya merupakan milik Pangeran Adipati Mangkunegoro.

Pada masa itu, stasiun ini melayani jalur Semarang-Vorstenlanden (Solo dan Yogyakarta), yang digunakan untuk mengangkut hasil bumi dari pedalaman ke Pelabuhan Semarang untuk ekspor.

Pada awal 1900-an, Stasiun Purwosari mengalami renovasi besar-besaran untuk memenuhi kepentingan pelayanan penumpang maupun administrasi pegawai.

Desain bangunan baru mengadopsi gaya arsitektur kolonial Belanda, yang mirip dengan Stasiun Kedungjati dan Stasiun Willem I Ambarawa.

Ciri khas arsitektur ini masih dapat dilihat hingga sekarang, menjadikannya salah satu bangunan ikonik di Solo. Meski telah berusia lebih dari satu abad, stasiun ini terus mengalami adaptasi. Hingga kini, Stasiun Purwosari berfungsi sebagai depo mekanik.

Pengunjung yang menyukai sejarah juga bisa menemukan jejak masa lalu, seperti menara air di sisi utara stasiun, yang menjadi bukti keberadaan depo lokomotif di masa lalu.

Di masa sekarang Stasiun Purwosari juga melayani perjalanan KA Jarak Jauh dan menjadi salah satu opsi tujuan akhir apabila ke Kota Solo.

Di stasiun ini, kereta dengan relasi Solo-Wonogiri diberangkatkan. Kereta yang diberi nama Batara Kresna itu berangkat dari Stasiun Purwosari dan berjalan menyusur kota di Jalan Slamet Riyadi.

Selain itu, juga terdapat kereta wisata Jaladara yang juga berangkat dari Stasiun Purwosari. Menggunakan lokomotif uap berbahan bakar kayu, kereta ini juga berjalan perlahan di rel tengah kota dan berhenti di Stasiun Solo Kota kemudian bergerak kembali di Stasiun Purwosari.

Stasiun Purwosari telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya melalui SK Wali Kota Surakarta No.646/1-2/1 Tahun 2013. Stasiun Purwosari tidak hanya sebuah stasiun, tetapi juga sebuah cerita panjang tentang sejarah dan peran vital Kota Solo dalam transportasi di Indonesia. (*)

Share:

Related Post

Leave a Comment