Voiceofnusantara.com, JAKARTA – Fenomena sadfishing, istilah untuk menggambarkan kebiasaan mengunggah cerita sedih secara berlebihan di media sosial demi mendapatkan perhatian—semakin marak di kalangan pengguna internet.
Walaupun tindakan ini bisa menarik simpati dan dukungan dari orang lain, pertanyaannya adalah, apakah dampak dari kebiasaan ini lebih banyak positif atau justru malah merugikan?
Sadfishing adalah perilaku seseorang yang secara berulang kali membagikan kesedihannya di platform media sosial, dengan tujuan mendapatkan validasi, perhatian, atau empati dari orang lain.
Namun, apa yang sering kali tidak disadari adalah dukungan yang diperoleh dari unggahan-unggahan tersebut bersifat sementara.
Hal ini justru bisa menyebabkan individu yang melakukannya merasa ketergantungan untuk terus mengulanginya, demi memenuhi kebutuhan emosional yang tidak pernah benar-benar teratasi.
Mengapa Sadfishing bisa terjadi? Individu yang merasa kesepian, kurang percaya diri, atau memiliki gangguan emosional tertentu sering kali mencari validasi eksternal, termasuk di media sosial.
Dalam beberapa kasus, seperti pada orang dengan gangguan kepribadian Narcissistic Personality Disorder (NPD), sadfishing bisa menjadi cara untuk memperoleh perhatian dan pengakuan dari orang lain.
Orang yang menderita kecemasan atau depresi juga mungkin tidak memiliki cara yang sehat untuk mengekspresikan emosinya.
Media sosial menjadi tempat pelampiasan utama mereka, walaupun ini tidak membantu proses pemulihan jangka panjang. Selain itu, individu yang merasa diabaikan oleh orang tua atau tidak memiliki ruang aman untuk mengekspresikan perasaan sejak kecil cenderung mencari perhatian di media sosial sebagai cara untuk diakui dan dihargai.
Dampak Negatif Sadfishing
Meskipun ada kepuasan sementara setelah menerima perhatian dari orang lain, dampak jangka panjang dari sadfishing bisa berbahaya.
Mengandalkan dunia maya sebagai tempat untuk menyalurkan perasaan bisa mengurangi kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah secara langsung, baik dengan berbicara kepada orang yang dipercayai atau dengan mencari bantuan profesional.
Psikolog mengingatkan bahwa berbagi perasaan secara terbuka di media sosial sebenarnya bukanlah hal yang salah. Namun, yang perlu diwaspadai adalah ketika seseorang mulai bergantung sepenuhnya pada validasi dari dunia maya untuk mengatasi masalah emosionalnya.
Hal ini dapat memperburuk perasaan rendah diri dan meningkatkan ketergantungan pada perhatian eksternal.
Para ahli menganjurkan untuk mengelola emosi dengan cara yang lebih sehat, yang tidak melibatkan ketergantungan pada media sosial.
Beberapa cara yang bisa dilakukan termasuk berbicara langsung dengan orang terpercaya, menjalani terapi, atau menyalurkan perasaan melalui aktivitas positif, seperti berolahraga atau seni.
Menghadapi perasaan dengan cara yang lebih konstruktif akan membantu membangun kesejahteraan emosional yang lebih baik, tanpa perlu mengandalkan reaksi dari orang-orang yang tidak dekat atau bahkan tidak dikenal.
Selain itu, ini juga dapat memperbaiki hubungan sosial dengan orang-orang sekitar, yang akan lebih mendalam dan bermakna.
Media sosial memang memberi ruang bagi penggunanya untuk berekspresi, tetapi akan lebih baik jika digunakan dengan bijak. Bukannya memperburuk kondisi mental, seharusnya media sosial bisa menjadi alat yang mendukung komunikasi positif, baik dengan keluarga, teman, atau komunitas yang sehat.
Menggunakan media sosial dengan kesadaran penuh akan menghindarkan kita dari dampak negatif yang berpotensi timbul, baik bagi diri sendiri maupun hubungan sosial yang kita bangun.
Dengan mengelola perasaan dengan cara yang lebih sehat dan berbagi dengan cara yang lebih bijak, kita dapat menjaga kesejahteraan mental dan mengurangi dampak buruk dari kebiasaan seperti sadfishing.
Sebuah keseimbangan yang sehat antara dunia maya dan dunia nyata adalah kunci utama untuk menjaga kesehatan emosional di tengah perkembangan teknologi yang pesat.(*)
Leave a Comment